"Berapa harga roti ini?" tanya seorang kakek kepada penjual.
"Lima ribu," jawab karyawati roti.
"Ini ditanya berapa, ‘ga dijawab. Dasar bodoh!" kata kakek tersebut dengan nada marah.
Karyawati tersebut sudah menjawab tetapi si kakek tidak mendengar. Aku yang sedang berbelanja di samping si kakek, membantu memberitahu harga roti tersebut "Lima ribu."
"Diam kamu! Orang itu bodoh, ditanya tidak jawab! Ibu diam, jangan kurang ajar dengan orangtua!" teriaknya marah sambil menunjuk-nunjuk ke arah karyawati dan kepadaku.
Aku memilih diam dan tidak ingin berdebat. Rasa ingin menjelaskan akan membuat debat kusir semakin panjang. Aku kasihan pada karyawati tersebut, teman-temannya juga memilih diam. Diam itu emas, lebih baik pada situasi demikian.
Apakah tidak ada keinginan untuk membela diri atau melawan? Sangat ada! Tetapi untuk apa melawan kakek yang keras kepala dan tuli?
Aku berusaha meredam emosi, jangan sampai kepalaku berasap mengepul ke udara. Setiap kali aku kecewa atau marah mengingat peristiwa itu, aku berusaha berdoa supaya aku bisa mengampuni orang tersebut. Aku belajar memahami kemungkinan kakek tersebut adalah orang yang mencari perhatian dan jati diri. Berusaha berdoa agar aku rendah hati dan Tuhan mau membuka mata hati orang tersebut.
Pengalaman ini mengajarkan diriku bahwa kerap kali kita merasa diri benar dan orang lain salah tanpa mau meneliti atau menyelidiki lebih dalam. Kita lebih mudah mengadili, menghakimi serta menghukum dengan kacamata pembenaran. Apa yang menjadi pergumulan hidupnya hanyalah dirinya dan Tuhan yang Maha Tahu.
Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle. Plato
Matius 6:12…dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.