Dikatakan bahwa “kesetiaan itu mahal harganya”. Kesetiaan menjadi dambaan dalam menjalani sebuah relasi maupun suatu tugas (tanggung jawab). Bagaimana tidak? Dengan kesetiaan, berarti ada suatu rasa yang membuat kita nyaman, aman, dan senang melakukan atau menjalaninya, bukan? Sebab, setia berarti berpegang teguh pada pendirian, janji, dan sebagainya.
Mungkin ketika suatu relasi maupun situasi yang kita lalui terasa menyenangkan dan baik-baik saja, rasanya mudah untuk mengucapkan janji setia. Akan tetapi, bagaimana jika yang terjadi justru malah sebaliknya? Ketika kita sedang dalam kondisi yang ruwet, berselisih dengan orang yang kita kasihi, dan hal-hal lain yang tidak kondusif, masihkah kita akan bertahan pada “kesetiaan” itu? Atau, justru dalam benak kita muncul pikiran, “Sampai kapan aku harus bertahan pada kondisi ini? Bagaimana caranya agar aku dapat terlepas dari semuanya ini?”
Jujur, saya pribadi pun sering kali menjadi orang yang demikian. Ketika saya merasa hal-hal maupun relasi yang saya jalani baik-baik saja, semua terasa begitu mudah dan menyenangkan untuk dilalui, mudah bagi saya untuk berkomitmen, bahwa “Saya akan setia!”. Namun, tentu saja kehidupan ini layaknya roda yang terus berputar. Bagaimanakah kita akan tetap bertahan ketika sedang berada di sisi bawah, terlindas, terhimpit, bahkan tak jarang hingga lecet, dan mengalami pecah ban karena tertusuk paku? Dapatkah kita mengeluh pada Yang Memiliki Kita?
Teringat pada kisah Rut, seorang Moab yang menikah dengan anak Naomi (Mahlon). Akan tetapi, kemudian suami dan anak Naomi meninggal, sehingga Naomi memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Naomi memiliki dua orang menantu, yaitu Rut dan Orpa, yang dimintanya agar kembali ke bangsanya sendiri. Alih-alih menuruti permintaan mertuanya untuk kembali ke bangsanya, Rut justru tetap bersikeras untuk mengikut Naomi ke mana pun ia pergi, hingga hanya maut yang dapat memisahkan. Rut tetap setia dalam segala situasi dan kondisi yang dihadapi Naomi.
Membayangkan kondisi demikian, bagaimana jika kita berada di posisi Rut, di tengah-tengah zaman sekarang ini? Zaman yang sering kali menggoda kita untuk tidak setia, baik dalam relasi maupun pekerjaan kita. Terlebih lagi, kesetiaan kita pada Tuhan. Bagaimana tidak? Sering kali kesibukan, kepenatan, kekhawatiran, dan banyak hal lainnya, justru membatasi dan bahkan menjauhkan keintiman kita dengan-Nya, yang seharusnya kita jalani setiap waktu. Mirisnya, penyebab dari semua itu ialah pekerjaan ataupun relasi dengan orang yang kita kasihi, yang dapat membuat kita terlena, lupa waktu, hingga mungkin menguras emosi dan tenaga.
Mungkin kita dapat berkata, “Tuhan tahu apa yang kita alami dan rasakan, jadi Tuhan dapat mengertil kalau saat ini aku belum menjalin keintiman denganNya. Toh, sebagai orang percaya, kita meyakini bahwa apa yang sedang kita jalin dan kerjakan itu karena Tuhan yang memberi pada kita.” Pertanyaannya, sampai kapan hal ini akan terus berlangsung? Karena jika menjalani kehidupan yang terus berlanjut, bukankah mungkin semua ini tak akan ada titik hentinya?
Jika kesetiaan terhadap kita dipatahkan oleh orang yang telah berkomitmen pada kita, tentu akan menyakitkan bukan? Lalu, bagaimana jika justru kita yang tak setia pada-Nya? Tidakkah sedih dan sakit hati-Nya?
Allah kita adalah Allah yang cemburu, namun Dia juga Allah yang penyayang. Satu hal yang Dia rindukan, ialah kita benar-benar menjalin keintiman dengan-Nya, seperti dengan rajin saat teduh dan selalu berserah pada-Nya. Mari kita menjadi anak-Nya yang setia! Kesetiaan mahal harganya! Tuhan Yesus mengasihi kita semua.