Ada sebuah ungkapan bijaksana yang mengatakan bahwa satusatunya hal yang mustahil adalah kemustahilan itu sendiri. Seringkali orang menganggap sesuatu sebagai hal yang mustahil hanya karena mereka belum pernah melihat atau mengalaminya sendiri.
Sebagai contoh, bagi manusia untuk menahan napas di dalam air lebih dari dua puluh menit dirasa sebagai sesuatu hal yang mustahil. Namun, ternyata ada seorang penyelam bebas asal Denmark, Dane Stig Severinsen yang telah membuktikan kepada dunia bahwa ia dapat melakukannya. Tentu masih ada segudang contoh lainnya. Kini banyak tayangan di televisi maupun media sosial tentang aksi-aksi spektakuler yang membuat orang tercengang dan akhirnya menyadari bahwa hal yang tadinya mereka percayai sebagai hal yang mustahil ternyata merupakan sesuatu yang mungkin. Jadi jelas di sini bahwa kemustahilan adalah sebuah opini atau anggapan, bukanlah sebuah fakta.
Kemustahilan pun sifatnya hanya sementara, apa yang saat ini mustahil mungkin tidak demikian di masa depan. Kita sekarang hidup di zaman dengan kemajuan sains yang luar biasa. Banyak hal yang dulunya dianggap mustahil kini dapat dilakukan. Sebut saja melakukan perjalanan ke luar angkasa, berkomunikasi visual jarak jauh secara langsung, ataupun transplantasi jantung. Hal yang kini dianggap mustahil pun bisa jadi mungkin di kemudian hari. Berdasarkan argumen-argumen yang telah dipaparkan di atas, nampaknya tidak perlu seseorang itu percaya kepada Tuhan untuk percaya bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil.
Motivator-motivator dunia umumnya menekankan pada hal-hal seperti kepercayaan pada diri sendiri, determinasi yang kuat, latihan intensif, maupun pengembangan pengetahuan yang semua intinya berpusat pada kemampuan dan potensi manusia untuk menembus batas kemustahilan.
Lantas apa bedanya ketika orang percaya berkata dengan iman bahwa tidak ada yang mustahil? Mestinya kita yang menyebut diri sebagai orang percaya mengimani pernyataan “tak ada yang mustahil” dengan alasan yang jauh lebih tepat, bukan? Yesus berkata, “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah” (Luk 18:27). Jadi, Firman Tuhan menyatakan bahwa ada hal-hal yang memang mustahil bagi manusia, tapi tidak bagi Tuhan. Pada titik ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya manusia hanya dapat menjadikan mungkin sesuatu yang mustahil secara relatif, seperti yang dianggap mustahil pada satu waktu atau oleh sebagian orang. Namun, tetap saja ada halhal yang secara mutlak itu mustahil bagi manusia. Untuk hal-hal yang mustahil secara mutlak ini, mutlak pula diperlukannya campur tangan Tuhan agar menjadikan hal itu mungkin.
Manusia hidup di dalam dunia yang terikat pada hukum keteraturan alam. Manusia hanya dapat mempelajari dan menyiasati agar dapat mengambil keuntungan dari hukum tersebut, tapi tidak dapat mengubahnya. Misalnya, ketika manusia mempelajari dan memanfaatkan hukum-hukum alam (seperti gravitasi dan aerodinamis), manusia dapat menciptakan pesawat terbang, tapi manusia tidak dapat mengubah hukum-hukum tersebut. Sebagai orang beriman tentunya, kita percaya bahwa Tuhan adalah pencipta langit bumi beserta isinya. Tidak sampai di situ saja karena bukan hanya objek-objek semata yang Ia ciptakan, melainkan juga sistem dan hukum-hukumnya. Maka, merupakan kehendak Allahlah bahwa manusia itu hidup dalam suatu batas kemungkinan. Akan tetapi, Allah sendiri sebagai pencipta sistem, pasti mampu untuk mengintervensi sistem tersebut.
Dalam Lukas 18:18-27, dikisahkan ada seorang saleh yang telah menuruti seluruh hukum Taurat sejak masa mudanya namun tidak juga bisa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, karena ia tidak mau menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikannya pada orang miskin. Jika orang sesaleh itu saja tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah, lalu siapakah yang dapat diselamatkan? Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh murid-murid Yesus karena mereka menyadari bahwa mereka pun bisa jadi tidak sesaleh orang itu.
Meskipun saleh dalam banyak hal lainnya, namun tetap saja ia punya kelemahan, yaitu soal harta kekayaan. Kita sebagai orang berdosa yang lemah pastinya tidak lebih baik daripada orang ini. Kita pun tidak mungkin memenuhi semua ekspektasi agar bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Oleh karena hal itu tidak mungkin bagi manusia, maka Tuhan mesti campur tangan. Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal sehingga apa yang seharusnya tidak mungkin (manusia berdosa diselamatkan) menjadi mungkin. Memang sungguh, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan!