Aku tidak pernah bercita-cita, atau bahkan bermimpi menjadi seorang guru, tetapi jalan hidupku berkata lain. Tuhan menempatkanku menjadi seorang guru.
Awalnya kupikir, aku hanya senang dan sangat terhibur di dekat anak-anak, dengan mengajak mereka mewarnai gambar, mendengarkan cerita-cerita mereka, dan menonton mereka menari. Namun, tak pernah tebersit di pikiranku untuk mengajar, apalagi menjadikan guru sebagai profesiku, tetapi Tuhan lebih tahu. Pada akhirnya, aku mencintai pekerjaan ini. Terlebih lagi, bagiku mengajar bukan hanya sebatas profesi, melainkan hobi.
Tahun 2020, setelah mengundurkan diri dari sebuah sekolah di Surabaya, aku memberanikan diri untuk bergabung dalam pelayanan mengajar di Tenjo. Sambutan teman-teman guru sangat baik. Aku pun memutuskan untuk mengajar siswa kelas 2 SD bersama seorang teman.
Hari pertama mengajar, aku hanya mengamati kondisi dan kemampuan para siswa. Namun, ada sesuatu yang sungguh membuatku takjub, yaitu sambutan para siswa yang sangat luar biasa ketika melihat kami, para guru, datang. Mereka menyalami kami, dan kami pun tersenyum membalas sapaan mereka, lalu merangkul serta mengobrol dengan penuh kasih.
Aku perhatikan mata mereka, juga sapaan yang sopan dan hormat kepada kami, para guru, sungguh tak pernah bisa aku lupakan. Mata yang penuh kerinduan untuk diajar oleh kami, semangat untuk menjadi lebih pandai, tak mampu aku jelaskan dengan kata-kata. Dalam pandanganku saat itu, biarpun mereka berasal dari lingkungan yang sederhana, tetapi mereka mempunyai semangat belajar yang tinggi. Pengalaman pertama mengajar di Tenjo begitu membekas dalam benakku. Aku pun mulai mempunyai gambaran, apa yang harus aku ajarkan di minggu yang akan datang.
Pada minggu berikutnya, aku sudah mempersiapkan lembar kerja untuk siswa, dengan bahan ajar yang menarik dan dapat membuat mereka antusias untuk belajar. Akan tetapi, ada dua siswa laki-laki di kelasku yang terlihat menarik diri. Mereka sepertinya takut bergabung bersama teman-temannya selama aku mengajar. Bagiku, ini adalah sebuah tantangan. Aku harus mencari cara supaya pelajaranku tidak hanya disenangi, tetapi juga mudah dimengerti dan diingat. Bersama rekan di kelas, aku berusaha mengajar dengan gembira, melakukan aktivitas dan belajar secara team work. Puji Tuhan, di minggu berikutnya, kedua siswa laki-laki tersebut begitu bersemangat untuk belajar, dan tidak menarik diri lagi.
Sayangnya, baru mengajar empat minggu, terjadilah pandemi Covid-19, sehingga aku dan para guru tidak bisa mengajar secara tatap muka dengan para siswa di Tenjo. Kegiatan belajar-mengajar terpaksa diliburkan untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
Kemudian, kami mendapat pemberitahuan, kegiatan belajar mengajar di Tenjo akan diadakan lagi secara online. Para guru pun saling membantu untuk mengajar melalui Zoom. Tentu saja, tidak mudah bagi para guru maupun siswa untuk menyesuaikan diri dengan sistem belajar-mengajar yang baru ini. Banyak kendala yang kami hadapi, seperti masalah sinyal, tidak adanya handphone, dan masalah lainnya, mengingat latar belakang orang tua para siswa yang mayoritas dari keluarga sederhana. Namun demikian, para guru tetap mengajar dengan penuh semangat, walaupun dalam segala keterbatasan.
Aku selalu berusaha membuat lembar kerja semenarik mungkin, agar siswa mudah mengerti. Sering kali, lembar kerja yang aku bagikan selama Zoom tidak dapat mereka lihat, karena faktor sinyal. Ah, sayang sekali! Akan tetapi, semua kendala itu tidak menyurutkan semangat para siswa untuk tetap belajar.
Seiring berjalannya waktu, kerinduanku untuk bertemu dengan para siswa semakin besar dan tak dapat kubendung lagi. Kendati pandemi perlahan mulai reda, kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka belum diadakan. Aku tidak berani meminta izin kepada pengurus KPI, karena takut tidak disetujui dan kecewa. Lalu, aku mencoba menghubungi teman yang tinggal di Tenjo, tempat kami biasa mengajar, supaya aku diperbolehkan mengajar secara tatap muka. Tak disangka, temanku ini memberi izin, tetapi hanya mengajar siswa di kelasku selama satu jam.
Betapa gembiranya hatiku! Aku pun menyiapkan materi pembelajaran dan bahan ajarnya. Lembar kerja sengaja kubuat berwarna, agar mereka semangat untuk belajar. Aku tak peduli dengan jarak tempuh yang jauh serta cuaca yang tidak bersahabat. Aku tetap bersemangat untuk berangkat ke Tenjo, dengan diantar oleh ojek langgananku. Yang ada di pikiranku hanyalah bertemu dengan para siswa dan mengajar mereka, yang selama ini hanya bisa kutemui melalui Zoom. Kerinduanku pun terjawab. Aku bertemu dengan mereka, dan kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan dengan baik. Para siswa begitu antusias karena dapat belajar secara tatap muka lagi.
Akan tetapi, ada rasa bersalah dalam hatiku, karena sudah lancang mengajar di Tenjo tanpa meminta izin dari para pengurus KPI. Berbagai pertanyaan pun mulai muncul di dalam hati. Bagaimana jika teman yang mengizinkanku mengajar secara tatap muka di Tenjo mendapat sanksi karena perbuatanku? Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menelepon pengurus KPI, dan menyampaikan mengenai hal tersebut. Sebelumnya, aku menyiapkan mental dahulu, seandainya nantinya mendapat teguran. Sebab, aku menyadari, memang aku yang salah. Ternyata, apa yang aku bayangkan tidak pernah terjadi. Para pengurus KPI mengucapkan terima kasih karena aku sudah nekat berangkat ke Tenjo. Di luar ekspektasiku, mereka malah memfasilitasi perjalananku ke Tenjo setiap minggu dengan mobil gereja, puji Tuhan! Tak henti-hentinya aku mengucap syukur, karena kegiatan belajar-mengajar boleh berjalan secara tatap muka lagi.
Tak banyak yang bisa aku berikan untuk Tuhan. Kiranya dengan kegiatan mengajar di Tenjo setiap minggu, aku bisa menjadi berkat bagi para siswa di sana.
*Penulis adalah anggota GKI Gading Serpong.