Mata kuliah antropologi, hamartiologi, dan soteriologi telah mempertemukan saya dengan sosok yang kita sebut saja Pak Simo, dosen sekaligus rektor saya. Bagi saya, ini bukanlah sebuah kebetulan. Saya yakin, Tuhan punya rencana, sehingga dalam perjalanan hidup, saya terdampar di STT ini, bahkan dalam kelas Pak Simo.
Bagi saya, Pak Simo adalah orang yang sangat rendah hati. Mudah diajak berkomunikasi kapan saja. Dia tidak akan ragu untuk menjawab setiap pertanyaan dari mahasiswanya dengan taktis dan lugas. Dia mampu mengendalikan emosi terhadap setiap mahasiswa yang mungkin sedikit kritis. Ketika membawakan kuliah, dia selalu menjelaskan secara runut, sistematis, dan ekspresif. Intonasi suaranya enak terdengar di telinga. Namun, ada satu hal yang sangat mengusik keimanan, dan saya harus mengatakannya dengan jujur, ketika ia sangat berkeras dengan doktrin predestinasi. Di titik ini, saya terpaksa berseberangan dengannya.
Berdasarkan konsep dan doktrin predestinasi yang diajarkannya, saya mau memberikan satu analogi terlebih dahulu. Analoginya begini, saya ada di kelas Pak Simo, seperti yang saya katakan tadi, bukan suatu kebetulan. Ini rancangan dan kehendak Tuhan. Bagi saya, ada di kelas Pak Simo adalah suatu anugerah. Sebuah hak istimewa. Namun ternyata, di kelas Pak Simo, saya tidak cukup hanya duduk diam, menikmati anugerah yang diberikan. Saya harus mengikuti “firman Pak Simo”, yaitu membaca buku wajib yang begitu tebal, mengerjakan Spiritual Digest Journal setiap minggu, mengikuti kuliah secara aktif, berinteraksi di dalam kelas, dan tentu saja membuat artikel yang sekarang saya tulis. Kalau tidak, saya akan gagal menjadi murid Pak Simo. Saya tentu tidak lulus ujian.
Namun, dengan konsep predestinasi yang dianut Pak Simo, saya sebenarnya pesimis menjalani semua itu, karena belum tentu lulus kelas. Karena, ternyata sebelum kelas dimulai, Pak Simo telah memilih dan menetapkan siapa yang akan lulus dan siapa yang tidak akan lulus. Itulah skenario pertama dari “predestinasi Pak Simo”.
Atau, saya mengambil skenario kedua. Ternyata, saya dipilih. Hanya, saya tidak tahu bahwa saya termasuk sebagai orang pilihan. Saya dinyatakan lulus, meskipun sebenarnya saya hanya hadir di kelas, tanpa melakukan apa-apa. Tanpa mengerjakan segala ujian yang diberikan. Tidak melaksanakan “firman Pak Simo”. Saya sungguh-sungguh lulus, meskipun sebetulnya itu bukan upah yang layak saya terima. Namun, bagi Pak Simo, itu cukup adil! Teman saya, sebutlah namanya si Paijo, yang pontang-panting, berdedikasi tinggi dalam kuliah, mengerjakan segala perintah yang diberikan, setia mengerjakan setiap ujian, tak memiliki cacat sedikit pun sebagai seorang mahasiswa, baik secara moral maupun secara akademis, ternyata tidak lulus. Alasannya sederhana, dia tidak dipilih dan ditetapkan Pak Simo, sejak sebelum kelas dibentuk!
Dengan sikap dan hakikat Pak Simo yang seperti itu, apakah saya dapat mengatakan, Pak Simo adalah seorang yang penuh kasih, mahaadil, tahu memberikan anugerah terhadap semua yang ada di kelasnya? Ia seorang yang bijak, dan dalam kebijakannya, ia tidak memilih dan menetapkan Paijo, tetapi memilih dan menetapkan Yusuf Gala. Tentu saja tidak!
Kita tinggalkan sejenak analogi itu. Kita masuk ke dalam kehidupan nyata, kehidupan yang akan mengusik nurani kita, kehidupan yang menggetarkan jiwa. Kita dengarkan kisah seorang wanita bernama Hilda, yang dituturkan ulang oleh Pdt. Yohan Candawasa, dalam suatu khotbahnya. Dikisahkan, Hilda adalah warga negara Kosta Rika, yang dijual pada usia empat tahun ke sebuah rumah bordil. Hilda berkata, “Saat teman-teman saya bermain bersama temantemannya, saya justru melayani laki-laki, di usia yang sangat dini. Dan di usia tersebut, saya sudah akrab dengan alkohol dan heroin, karena itu adalah penghilang rasa sakit yang paling ampuh, untuk mengatasi rasa sakit dalam jiwa saya.”
Pada usia remaja, Hilda sudah memiliki dua orang anak. Lalu, ibunya datang mengambil kedua anak itu, dengan mengatakan, “Wanita kotor seperti kamu, mana mungkin bisa merawat anak?” Hilda harus bekerja superkeras untuk bisa menghidupi tiga wanita dalam kehidupannya, kedua anaknya dan ibunya. Kadang, ia sampai harus bekerja dalam dua shift. Artinya, dalam satu hari, ia harus melayani seratus orang pria! Dan, Hilda pun berhitung, paling lama ia harus melayani satu tamu selama sepuluh menit, agar bisa menyelesaikan seratus tamu per hari!
Suatu hari, datang seorang pelanggan yang memintanya untuk melayani dalam cara yang paling tidak masuk akal. Hilda tentu saja menolak. Tamu tersebut mengambil pemukul baseball, dan menghajarnya. Hilda koma dan tengkorak kepalanya retak, menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit. Ketika di rumah sakit, Hilda berkata, “Saya ingin melepaskan semua selang yang melekat dari tubuh saya. Rasanya, hanya dengan bunuh diri, saya bisa melepaskan semua penderitaan ini!” Dan, dalam keadaan seperti itu, Hilda berdoa, “Tuhan, tolonglah saya!” Pada saat itulah, Hilda merasa Tuhan menolongnya. Ia yang tidak dapat membaca, bahkan tidak bisa berbahasa Inggris, tiba-tiba bisa membaca sebuah tulisan berbahasa Inggris dengan jelas, “Carilah Panti Rehabilitasi Rahab!” Hilda lalu bertanya kepada perawat, apakah ada panti yang bernama Panti Rahab, dan apakah ada nomor teleponnya? Dan, ternyata ada!
Ketika sudah mulai kuat, ia lalu mencoba menelepon panti tersebut. Namun, tidak ada yang mengangkat teleponnya. Ia pun kembali berdoa, “Tuhan, kalau Engkau benar ada, tolonglah supaya ada yang menjawab telepon ini!” Lalu, ia menelepon kembali. Di ujung sana, tak ada satu pun orang di ruangan, karena hari itu memang hari libur. Namun, Direktur Panti Rehabilitasi Rahab, Mary Liana, karena ketinggalan berkas, mampir ke kantor panti. Pada saat itulah, telepon berdering. Singkat cerita, Hilda diselamatkan. Dan kini, Hilda hidup sebagai seorang pedagang, menghidupi ibu dan kedua anaknya.
“Waktu mendengar cerita ini, hati saya tidak happy,” kata pendeta Yohan Candawasa, “banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya. Kalau Tuhan toh akhirnya menyelamatkan Hilda, kenapa bukan sejak sejak awal? Kenapa harus menunggu sampai ia harus melayani seratus orang tamu? Pertanyaan kedua, ada berapa orang seperti Hilda yang diselamatkan, dan ada berapa “hilda” yang tidak Tuhan selamatkan? Dan, bukankah dalam kehidupan nyata, ada banyak cerita seperti ini? Sampai mati, kehidupan “hilda-hilda” tersebut ada dalam penderitaan yang tak terbayangkan. Kenapa Hilda yang ini ditolong, dan “hilda” yang lain tidak?” Lalu, Yohan Candawasa hanya bisa berkata, “Saya tidak tahu jawabannya. Bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan bagaimana saya bisa menyelami pikiran Tuhan?”
Ketika mendengar kisah Hilda yang dituturkan Pdt. Yohan Candawasa dengan pertanyaan retoriknya, hati saya miris dan ingin menangis. Benar! Ada banyak “hilda” di luar sana, di seluruh belahan dunia ini, yang mengalami penderitaan yang sungguh tak terbayangkan, seperti seorang wanita India, yang diperkosa oleh enam orang lakilaki secara biadab, lalu dibunuh. Tak perlu saya harus ceritakan kisah mereka satu per satu di sini.
Lalu, jiwa “hilda-hilda” tersebut meluncur bebas ke neraka. Menggelinding ke dalam penderitaan kekal. Terpisah dari Allah selama-lamanya. Bukankah itu penderitaan yang paling menyakitkan dan paling menyengsarakan? Kemudian, dengan gampangnya kita berkata, bahwa “hilda-hilda” tersebut memang tidak dipilih! Setega itukah Allah? Rasa-rasanya tidak! Bahkan, dengan tegas saya katakan, Allah yang saya sembah bukan Allah yang sedang bermain-main dengan jiwa anakanak- Nya. Kehidupan yang kita jalani bukanlah sebuah permainan dan sandiwara yang sedang Allah mainkan. Kita tidak sedang menyembah Allah yang arogan dan berbuat sesukanya, yang melawan hakikat dan kodrat-Nya.
Konsep predestinasi, yang menyatakan manusia telah dipilih dan ditetapkan sejak kekekalan, telah menempatkan Allah Bapa bukan lagi sebagai Allah yang Maha Baik, yang mengasihi setiap anak-anak-Nya yang lahir di dunia. DIA bukan lagi Allah yang Maha Adil. DIA bukan lagi Allah yang Maha Benar. Seperti yang diungkapkan Pdt. Yakub Susabda dalam suatu cuplikan khotbahnya, yang mengatakan, Tuhan seperti itu adalah “Tuhan yang elek.” Benarkah, sebelum dunia dan manusia diciptakan, Allah duduk di takhta-Nya, sudah menuliskan nama-nama yang nanti akan dipilih, dan menetapkan yang akan diselamatkan?” Sama saja mengatakan, Allah menggiring sekian triliun manusia ke dalam api neraka. Pertanyaan yang sama harus saya lontarkan. Benarkah demikian? “Tentu saja hati nurani kita terusik,” kata Yakub Susabda. Dan, saya pun sangat terusik.
Ada banyak “hilda” di luar sana, di seluruh belahan dunia ini, yang mengalami penderitaan yang sungguh tak terbayangkan.
Lebih lanjut, Yakub Susabda mengatakan, “Bukankah IA adalah Allah yang tidak menghendaki satu orang pun binasa?” (2Petrus 3:9) Sebuah pernyataan dari firman Allah sendiri! “Namun, ternyata diam-diam pikiran-Nya elek!” kata Yakub Susabda. Allahlah yang menyuruh kita untuk memberitakan Injil, untuk menyelamatkan seluruh bangsa ini, tetapi ternyata DIA sendiri telah menetapkan, sebagian besar manusia akan dicemplungkan ke neraka!
Saya pun berasumsi, janganjangan gereja tidak bertumbuh, bahkan jemaat tidak menjadi murid dan tidak perlu menjadi murid, karena apa pun yang dilakukan, mereka toh tetap akan selamat. Sekali selamat, tetap selamat!
Menurut Yakub Susabda, berdasarkan kebenarankebenaran alkitabiah, sebaiknya kita berpikir, “…Allah penuh kasih, memberikan diri-Nya di kayu salib, mati untuk menebus dosa. Titik. Jangan diteruskan! Jangan terpancing untuk memiliki sinful nature curiosity! Jangan dengan natur dosamu, pengen tau lebih. Pengen tau ... pengen tau ... Jangan! Stop di sana!” Lebih jauh, Yakub Susabda mengatakan, “Saya tidak perlu memikirkan apa yang Calvin pikirkan. Tuhan hanya menuntut apa yang sepatutnya saya pikirkan! Karena, pikiran Allah bukan pikiranmu!”
Saya setuju, ada bagian-bagian Alkitab yang tidak bisa kita mengerti. Jangan dipaksakan! Apalagi, kalau itu bertentangan dengan hakekat dan kodrat Tuhan! Karena, pada akhirnya itu akan menjadikan kita bidat, menjadikan kita aneh.
Bagi saya, cukuplah saya pahami, hanya karena kasih karunia Allah, lewat pengurbanan Yesus di kayu salib, saya diselamatkan. Lalu, saya harus merespons anugerah itu dengan bertumbuh menyerupai gambaran Kristus. Menjadi murid. Menaati segala perintah-Nya. Mengasihi sesama. Mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati. Mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar. Itulah konsep jalan keselamatan saya sendiri.
Kalau dunia dan kehidupan ini adalah sebuah kelas yang sangat besar, dan dosennya adalah Tuhan Yesus sendiri, ketimbang saya memikirkan apakah saya telah ditetapkan untuk lulus atau tidak lulus, saya lebih memilih untuk memikirkan bagaimana saya akan menaati dan melakukan setiap hal yang diajarkan Guru Besar saya, Tuhan Yesus. Saya pun akan berusaha mereplikasi perilaku- Nya, daripada memikirkan wilayah yang sangat misterius di balik pemikiran Guru Besar saya. Siapakah saya yang mampu memahami pikiran-Nya? Apalagi, saya sudah memiliki natur dosa.
Benar! Saya tidak akan berdiri seperti seorang murid yang seakan-akan mampu memahami seluruh pemikiran Guru Besarnya, lalu menyalah-nyalahkan mahasiswa yang lain, dan akhirnya membuat saya berdosa karena arogan, merasa benar sendiri. Saya hanyalah seorang pengikut yang sangat biasa dari Sang Guru Besar, yang hanya mau menaati apa yang diucapkan-Nya. Karena, ketika saya ditanya, apakah saya telah dipilih dan telah ditetapkan Tuhan dari kekekalan, saya akan menjawab dengan segala kerendahan hati, “Saya tidak tahu. Yang saya ketahui hanyalah, saya akan setia mengikut Yesus, dan setia menjadi murid dan pelayan- Nya, hingga kekekalan!”
*Penulis adalah anggota GKI Gading Serpong, alumnus sebuah STT di Jakarta.