Pada suatu hari, dosen saya memberikan suatu lagu. Pernahkah kita merasakan seperti yang diutarakan dalam penggalan lirik lagu tersebut?
Apa yang kau, apa yang kau cari?
Nanti juga semua yang kau dapati
Tidak akan kau bawa mati
Apa yang kau cari?
Lulus kerja, menikah, beranak
Apa lagi?1
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kadang terpikirkan ketika kita sudah jenuh menjalani kesibukan yang ada. Mungkin kita terus menekan emosi, bertahan dihimpit roda gerigi industri yang tak kunjung berhenti. Alhasil, tidak ada waktu untuk berelasi intim dengan Tuhan, tidak ada waktu untuk ke gereja. Hingga suatu saat, kita merasa segala usaha kita tidaklah cukup.
Jika pernah demikian, kabar baiknya kita tidak sendirian. Seusai pulang dari pembuangan, sewajarnya Israel memprioritaskan kesejahteraan mereka. Apalagi dengan kondisi dibenci bangsa sekitarnya, pembangunan Bait Allah yang telah runtuh tertunda (Ezra 4:24). Yang sudah terbangun hanya fondasinya (Ezra 3:8-13). Yang menarik adalah ketika membaca Hagai 1 (kira-kira belasan tahun setelah Ezra 4), kita tahu penundaan ini sudah bukanlah semata-mata karena didesak dari sana-sini!
"Beginilah firman TUHAN semesta alam, bangsa ini berkata: Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali Rumah TUHAN!" Lalu datanglah firman TUHAN dengan perantaraan Nabi Hagai, bunyinya, "Apa sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang berlapis papan, sedangkan bait ini masih berupa reruntuhan? (Hagai 1:2-4)
Sampai-sampai Tuhan perlu mengulang dua kali frasa “perhatikanlah langkah hidupmu” (Hagai 1:6-7), mengapa? Karena mereka lebih sibuk dengan urusannya sendiri! Tak ada waktu melayani Tuhan lebih sungguh. Mereka abai membangun Bait Allah, walau masih rutin mempersembahkan kurban, beribadah seadanya (Hagai 1:9).
Menelantarkan Bait-Nya
Kehadiran Bait Allah menandakan Allah beserta mereka (1Raja-raja 8:10-13), konsep umum bagi Israel zaman itu. Seperti Kemah Suci yang ada di tengah-tengah bangsa Israel dalam perjalanan menuju tanah perjanjian, dan Yesus yang “tinggal di antara manusia” (Yohanes 1:14). Allah beserta kita, karena perjanjian-Nya demi diri-Nya sendiri, untuk menjadi Allah kita (Kejadian 17:7). Bagi kita di masa kini, Bait Allah adalah tubuh kita yang dipenuhi Roh Kudus (1 Korintus 6:19-20). Menelantarkan tubuh berarti menelantarkan Bait Allah.
Dalam Hagai, Israel yang beribadah seadanya condong menggunakan Tuhan untuk kemapanan hidup sehari-hari. Alhasil, kondisi mereka saat itu tidak memuaskan (Hagai 1:5). Bahkan Tuhan sendiri mengakui, Ialah yang membuat kondisi demikian (Hagai 1:9-11). Selaras dengan Pengkhotbah, menikmati harta bukanlah sesuatu hal yang dapat dibeli, melainkan suatu karunia dari Allah sendiri (Pengkhotbah 5:9, 18). Dengan kata lain, mengabaikan pembangunan Bait Allah berarti tidak memberi ruang bagi Allah, menimbulkan ketidakpuasan dalam hidup umat kepunyaan-Nya.
Tetapi, bukankah seyogianya benda mati tidak bisa memuaskan benda hidup? Agar seorang anak tenang, orang tua sering memberikan telepon genggam. Tetapi, seiring waktu, anak manakah yang lebih terkesan “hidup”, tidak “parentless”? Bukankah anak yang sering bergaul dengan orang tuanya? Yang selalu mengajak anaknya mengobrol, menanggapi pertanyaan tak jelas anaknya dengan baik, mendengarkan mereka menceritakan kisah yang kekanak-kanakan. Justru di sanalah mereka hadir dalam kehidupan anaknya. Sejatinya, telepon genggam tidak bisa menggantikan peran tersebut.
Sama seperti itu, pribadi Tuhan yang hidup pun tidak dapat dibandingkan dengan harta yang mati. Allah beserta kita (Hagai 1:13) juga berarti Ia rela menerima kita kembali, kendati kita masih punya keburukan, seperti kata Paulus,
“Namun, justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Kristus Yesus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian, aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.” (1Timotius 1:16)
Dapatkah sebuah pencapaian tidak bernyawa di dunia ini menerima manusia? Jangan-jangan kita dikendalikan benda mati? Oleh karena itu, seharusnya kita mengingat:
1. Harta yang Hidup
Pelayanan mungkin diidentikkan dengan menjadi penyambut jemaat, pemusik, pemimpin liturgi, atau bahkan pembaca firman. Tetapi perlu diingat, sesungguhnya kita tidak layak untuk melayani Tuhan. Kita, yang seharusnya buta akan Injil, jadi memperoleh pengenalan sejati akan Allah (bisa berelasi secara intim) melalui Kristus. Kita menjadi bejana tanah liat yang berfungsi untuk bersaksi, memberitakan harta surgawi, yaitu Injil itu sendiri (2Korintus 4:3-7). Jika orang lain di luar gereja melihat, kehidupan kita juga akan diasosiasikan sebagai kehidupan “pelayan Tuhan”, sama seperti kehidupan Paulus.
Dan, seperti Israel yang membangun kembali Bait-Nya akan mendatangkan kemuliaan Allah (Hagai 1:8), kesaksian Paulus selaku pelayan-Nya juga mendatangkan kemuliaan Allah. Kemuliaan yang dapat membuat seseorang mengaku percaya, sungguh-sungguh menyerahkan diri bagi Tuhan, mau menundukkan diri untuk dibaptis, serta mengikuti perjamuan kudus. Kemuliaan yang sama juga dapat membuat kita bisa merasa baik-baik saja di tengah kekurangan kita.
Oleh karena itu, di manakah hati kita berada saat ini? Apakah kita berfokus pada harta yang hidup (Matius 6:19-21)?
2. Melayani Siapa?
Melihat keadaan sekitar kita, tidak jarang kita temukan anak hamba Tuhan/generasi muda yang kecewa pada orang tuanya, karena memiliki kehidupan dualistik di gereja dan di rumah. Sebaliknya, saat ini ada tren generasi muda yang berorientasi pada reputasi/materi/harga diri/komunitas/dsb. Jangan-jangan, itu merupakan sebuah hasil pengajaran dari para “pelayan Tuhan”, yang juga lebih sibuk dengan agenda pribadinya, menyalahgunakan nama Tuhan, alih-alih sungguh melayani-Nya?
Kendati demikian, Paulus mendorong Timotius untuk menjadi kesaksian yang baik di tengah banyaknya guru-guru palsu (1 Timotius 6:11-12, 14-15). Hidupnya perlu berpadanan dengan keadilan, kesalehan, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan. Itu semua tidak mustahil jika ia mengikuti tuntunan Roh dalam mengerjakan panggilannya selaku “pelayan Tuhan”, seperti yang Tuhan Yesus pernah alami (1 Timotius 6:13). Bagaimana dengan kita, pengikut Kristus yang juga dipanggil selaku “pelayan Tuhan”?
Ketimbang berfokus pada “tindakan pelayanan apa yang saya harus/mau ambil”, mari kita refleksikan, hal kecil apa yang bisa saya lakukan dalam mencerminkan kehidupan seorang “pelayan Tuhan” di tengah kehidupan pekerjaan/studi/rumah tangga/sehari-hari? Walaupun sulit, bersyukur Tuhan tidak menelantarkan kita sendirian. Semoga kita terpantik untuk sungguh mendengarkan (Hagai 1:12) dan menggumulinya sesuai kemampuan yang Ia berikan (Hagai 1:14).
*Penulis adalah seorang mahasiswa teologia, jemaat GKI Gading Serpong
1 Lirik lagu “Apa?” karya Petra Sihombing.