Kata menolong sering dilandasi oleh hukum take and give (jika aku membantu kamu, kamu harus membantu aku), sekadar pencitraan, atau mempunyai pamrih tertentu. Masihkah orang mau melayani ketika dia sendiri tidak mendapatkan apa-apa, merugi, atau bahkan harus banyak berkorban? Apa yang melandasi dan memotivasi orang untuk memberikan pelayanan kepada sesama yang membutuhkan? Bagaimana tanggapan kita jika pelayanan kita justru ditolak dan disalahartikan?
Dari dahulu kala, manusia selalu hidup berdampingan satu sama lain. Manusia dikenal juga sebagai makhluk sosial karena saling membutuhkan. Namun, perlahan naluri alami itu mulai memudar. Manusia menjadi individualis dan saling mencurigai antar sesama.
Rasul Paulus menasihati jemaat di Filipi supaya membangun komunitas berlandaskan kasih dan penuh kasih mesra. Agar kasih menjadi landasan, rasa iri hati, angkuh, congkak harus dikesampingkan (Filipi 2:1-14). Yesus juga memberi nasihat untuk mengundang orang miskin, cacat (baik itu lumpuh maupun buta), dalam pesta perjamuan, baik siang maupun malam (Lukas 14:12-14). Dalam mengundang orang, alangkah baiknya tidak berharap untuk diundang balik.
Ketika melakukan kebaikan atau perbuatan kasih, tidak ada jaminan orang akan mengucapkan terima kasih atau memberikan penghargaan. Mungkin malah sebaliknya, kebaikan atau pertolongan kita itu dianggap angin lalu, dan kita dilupakan begitu saja. Namun, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk mengulurkan tangan kepada siapa saja yang memerlukan bantuan. Yesus tidak pernah menghitung untung rugi suatu kebaikan kasih. Sebelum menyembuhkan orang, kala menunjukkan mukjizat Allah, Dia tidak pernah berpikir, “Akankah orang ini berterima kasih nantinya? Apakah setelah ditolong kelak, ia akan memuji-Ku?” Dia sama sekali tidak berpikir demikian. Dia Mahakasih kepada semua orang, termasuk kepada orang jahat atau orang yang tidak tahu berterimakasih. Dia tetap memberikan kasih setia, kebaikan, dan kemurahan-Nya kepada semua orang.
Mengapa kita harus mengasihi sesama tanpa pamrih, termasuk kepada mereka yang menyakiti kita? Karena dalam hal berbuat baik, tidak memperhitungkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih kepada sesama adalah salah satu aspek dari kemurahan hati. Murah hati (bahasa Yunani: eleemon) adalah salah satu karakter Allah. Dia ingin kita, para pengikut-Nya, mempunyai kualitas hidup “lebih” dari yang biasa—kalau kita hanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, apalah istimewanya? Jikalau kita sebagai murid-Nya hanya mengasihi orang yang baik, apakah perbedaannya dari orang yang tak mengaku sebagai murid-Nya? Kita harus tetap melakukan kebaikan meskipun tidak ditanggapi dengan baik. Tidak boleh ada kekecewaan dalam berbuat baik. Kita harus tetap mengasihi tanpa pamrih, walaupun orang yang kita tolong tidak membalas kebaikan kita, atau bahkan justru merugikan kita.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti murah hati adalah suka (mudah) memberi, tidak pelit; penyayang dan pengasih: suka menolong; baik hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Dalam bahasa Yunani, kata murah hati adalah oiktirmon, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai merciful atau compassionate. Merciful bisa diartikan penuh kasih. Compassionate bisa diartikan memiliki rasa belas kasih, mau mengampuni. Kedua kata tersebut memiliki paralelisme dengan tiga kata dalam bahasa Indonesia, yaitu: simpati, empati, dan pengampunan.
Individu yang murah hati pasti memiliki kasih di dalam hatinya. Murah hati selalu berkenan dengan sikap memberi, baik itu waktu, tenaga, materi atau juga hidupnya. Ketika memberi, diperlukan pengorbanan. Yesus saja telah berkorban untuk menyelamatkan kita, mengapa kita yang mengaku sebagai anak-Nya tidak mau berkorban bagi sesama?
Pertanyaan refleksi hari ini:
- Siapakah yang kamu tolong hari ini?
- Apakah kasihmu tulus atau modus?
Setiap orang Kristen diundang untuk mewujudkan karunia pelayanan yang telah diterimanya sebagai perwujudan kasih kepada Tuhan dan sesama.