Bagaimana Menghidupkan Liturgi?
Ada tiga faktor yang mempengaruhi hidup-tidaknya sebuah
ibadah. (1) Faktor Pribadi; (2) Faktor Liturgi; (3) Faktor Gereja.
Jika ketiga faktor di atas bisa bekerjasama dengan baik, terjadilah ibadah yang hidup. Sebaliknya, jika ketiga faktor diatas tidak dapat berkerjasama atau terjadi disintegrasi di antaranya, maka ibadah akan berjalan secara mekanis. Muncullah ritualisme, dimana orang menjalankan ritual ibadah tanpa penghayatan. Misalnya:
- Faktor pribadi. Sepasang suami-istri baru saja bertengkar, lalu mengikuti ibadah dengan hati jengkel. Selama beribadah mereka tidak dapat berkonsentrasi menyembah Tuhan. Muncul ritualisme karena faktor pribadi.
- Faktor liturgi. Seorang anggota jemaat tidak pernah mendapat pendidikan liturgi. Walaupun sudah bertahun-tahun ikut beribadah, ia tidak tahu apa artinya votum. Ia menganggap Pengakuan Iman Rasuli adalah doa bersama_ Ia tidak tahu mengapa harus ada Doa Pengakuan Dosa sebelum pemberitaan Firman. Akibatnya, setiap minggu ia menjalankan ritual-ritual itu secara mekanis, tanpa mengerti maknanya. Terjadilah ritualisme karena faktor liturgi.
- Faktor gereja. Yang dimaksud adalah sarana-prasarananya (gedung gereja dan peralatan ibadahnya) serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelola ibadah. Jika suara Pendeta di mimbar tidak dapat jelas terdengar karena masalah sound system, ibadah pasti terganggu. Juga nilai SDM-nya tidak siap (misalnya: khotbah tidak jelas atau iringan musik tidak dapat menggugah jemaat mengekspresikan isi hatinya).
Untuk menciptakan ibadah yang hidup, ketiga faktor di atas perlu menyatu dan berkerjasama dengan baik, sehingga terjadilah ritual yang sinergistik (saling mendukung). Untuk menentukan hidup matinya sebuah ibadah, Douglas Erickson membuat garis skala partisipasi seperti terlihat dalam gambar berikut. Erickson berpendapat bahwa skala partisipasi seseorang dalam ibadah berubah-ubah di antara nilai 0 sampai dengan 10 di sepanjang ibadah. Ibadah yang hidup terjadi jika skala pratisipasi bergerak makin ke kanan, namun dalam prakteknya, skala partisipasi tiap orang berubah-ubah di sepanjang kebaktian!
1. Faktor Pribadi
Setiap pribadi yang hadir dalam ibadah sangat menentukan tercapai atau tidaknya ibadah yang hidup. Sehebat apapun disain sebuah ibadah, jika anggota jemaatnya tidak punya hati yang sungguh-sungguh ingin beribadah, tidak dapat menciptakan ibadah yang hidup. Mari kita melihat hambatan-hambatan apa saja yang dapat menghalangi anggota jemaat beribadah bisa berpartisi secara penuh dalam ibadah.
- Adanya Masalah pribadi. Pergumulan hidup, kesehatan yang terganggu, rasa bersalah, krisis iman, semuanya dapat membuat seseorang tidak dapat berkonsentrasi dalam ibadah dan berpartisipasi sepenuhnya. Begitu pula jika seseorang datang beribadah dengan motivasi yang keliru (misalnya, untuk mencari jodoh), maka hatinya menjadi tidak dapat sungguh-sungguh beribadah.
- Konsep yang keliru. Banyak orang datang ke gereja dengan pola pikir yang konsumtif. "Saya harus mendapat sesuatu" dalam ibadah, bukannya "saya harus menyumbangkan sesuatu." Mereka menempatkan diri sebagai penonton, bukan sebagai pemain yang turut rnenentukan hidup-tidaknya ibadah.
- Hatinya belum diterangi, Ibadah Kristen hanya bisa bermakna bagi mereka yang sudah diterangi hatinya oleh Roh Kudus (illumination of the heart). Orang hanya bisa mengalami perjumpaan dengan Allah jika hatinya telah"diterangi” (2Kor 13:14-16), dalam artian ia telah memiliki iman kepada Kristus (Kis 26:18, Rom 8:5, Why 21:5, Yoh 9:39). Jika anggota jemaat belum lahir baru, sulit baginya untuk dapat menikmati ibadah. Baginya, ritus-ritus ibadah hanyalah ritual kosong yang membosankan.
- Tidak memahami tata ibadahnya. Jemaat perlu memahami apa yang terjadi di dalam ibadah. Mengapa kita beribadah seperti sekarang ini? Bagaimana melakukannya dengan benar?Disini diperlukan penerangan pikiran (illumination of the mind). Mereka memerlukan pengetahuan tentang liturgi.
Bagaimana kita dapat menolong jemaat mengatasi hambatan-hambatan ini?
- Berikan jemaat waktu untuk hening. Jika jemaat hadir dengan pikiran yang kusut atau hati yang jengkel, mereka perlu menenangkan diri lebih dulu agar dapat memasuki suasana ibadah. Kita dapat menolong dengan memberikan mereka kesempatan berdiam diri di hadapan Tuhan. Kesadaran dan kepekaan akan Tuhan bisa muncul di tengah keheningan. Suasana hening bisa kita sediakan sebelum ibadah dimulai, jika perlu diiringi musik lembut yang meneduhkan hati. Dalam Doa Pengakuan Dosa, jemaat dapat diberi kesempatan untuk berdoa pribadi lebih dulu sebelum Pemimpin menaikkan doa bersama. Sesudah khotbah disampaikan, keheningan dapat diciptakan dengan memberikan waktu teduh agar jemaat dapat merenung. Doa dan Pembacaan Alkitab juga jangan dilakukan secara terburu-buru. Berikan waktu diam selama 5-6 hitungan sebelum seseorang memimpin doa atau membaca Alkitab, sehingga jemaat mendapat kesempatan untuk mengarahkan hati pada Tuhan.
- Berikan pendidikan/formasi liturgi pada jemaat. Untuk bisa beribadah dengan baik, jemaat harus familiar dan menguasai liturginya (predictable). Jika tidak, mereka akan merasa menjadi orang asing (outsider) dan tidak bisa menikmati ibadah. Menguasai liturgi sama seperti belajar menyetir mobil atau bermain piano: Pertama-tama terasa kaku, namun pengulangan ribuan kali membuat kita makin mahir. Dengan mengulang ritus-ritus dari minggu ke minggu, liturgi akan menyatu dengan jemaat dan menjadi bagian dari gaya ibadah mereka. Oleh sebab itu, kepada anggota jemaat yang baru, perlu kita informasikan tata ibadah yang dipakai, agar mereka bisa mempelajarinya. Tata ibadah juga sebaiknya jangan sering diubah-ubah.Jemaat membutuhkan kontinuitas. Kalaupun diubah, jangan terlalu radikal. Bedakan mana elemen yang tetap (ordinarium) dan mana yang variabel (proprium). Ingat bahwa ibadah bukanlah tontonan film di TV yang harus terus menerus diganti supaya orang tidak bosan. lbadah adalah sebuah ritual untuk menghadap Tuhan yang harus menyatu dengan jemaat.Lebih jauh lagi, jemaat juga harus mengerti mengapa mereka beribadah seperti sekarang ini. Mengapa urutannya dibuat sedemikian rupa? Apa artinya Votum? Kita perlu memahami dan memdalami tata ibadah yang kita pakai. Tanpa semuanya itu, kita tidak mampu menghayatinya sungguh-sungguh.
2. Faktor Liturgi
Liturgi harus disusun sedemikian rupa sehingga berfokus pada tema yang ditetapkan. Baik pemilihan lagu, nats, maupun doa-doa yang dinaikkan, semuanya harus berfokus pada tema liturgi. Hambatan yang sering muncul adalah : - Liturgi tidak dapat mengekspresikan dengan tepat apa yang menjadi pergumulan jemaat, sehingga jemaat tidak merasa terlibat didalamnya. - Liturgi sarat dengan kata namun miskin refleksi dan aksi. Ini dapat membuat ibadah terasa terlalu verbal: hanya menyentuh pikiran tetapi tidak menyentuh hati.
Untuk mengatasi hambatan ini, apa yang dapat kita lakukan?
- Carilah kata-kata yang tepat; yang dapat mengungkapkan pergumulan iman jemaat dengan tepat. Kita memerlukan kata yang tepat untuk mengeskpresikan pergumulan iman jemaat. Kita dapat mencarinya dari Alkitab, buku-buku liturgi/ doa tertulis (written prayer), atau membuatnya sendiri dari kalimat yang dipilih dengan cermat. Walaupun doa spontan itu baik, namun ada kelemahannya: orang cenderung memakai kata-kata yang terbatas dan berulang-ulang karena kekurangan waktu berpikir. Disini doa tertulis dapat menolong.
- Libatkan partisipasi multi-indera (Multisensate Participation). Ketika Kristus diutus menjadi manusia, orang bisa melihat Allah lebih jelas karena kehadiranNya dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam ibadah modern-pun diperlukan komunikasi multi-indera, bukan hanya komunikasi verbal. Komunikasi non-verbal dapat diwujudkan dalam tindakan, raut wajah, gerak tubuh seperti berdiri, berlutut, menengadah, mengangkat tangan (orans), berpegangan tangan, memegang roti/cawan, berjalan, dll. Ini akan menolong jemaat mengekspresikan imannya secara lebih maksimal. Namun semuanya perlu disesuaikan dengan konsensus yang berlaku di jemaat setempat.
- Libatkan Anggota Jemaat dalam liturgi. Karena gereja adalah Imamat Rajani, anggota jemat harus diberi peran dalam ibadah, sesuai karunia masing-masing.
a. Paduan Suara (choristers). Peran paduan suara yang utama bukanlah unjuk kebolehan, melainkan menolong jemaat bernyanyi.
b. Cantor/Cantoria. Selain memimpin jemaat bernyanyi, ia dapat memperkenalkan lagu baru kepada jemaat dan mengoreksi kesalahan menyanyi.
c. Lektor. Sejak ibadah di sinagoge, kitab Taurat dibacakan oleh saIah seorang lelaki dewasa yang hadir (bdk. Luk 4:16-17). Tradisi pembacaan Alkitab oleh anggota jemaat perlu dilanjutkan. Kita dapat menunjuk anggota jemaat untuk dilatih membaca Alkitab dengan hidup. Disini diperlukan latihan dan pendampingan.
3. Faktor Gereja
Berbicara tentang faktor gereja, kita perlu menyinggung dua hal: sarana-prasarana yang ada (gedung, perlengkapan, peraturan gereja, maupun iklim jemaatnya), dan Sumber Daya Manusianya.
Sarana-prasarana. Akustik ruang ibadah, pengaturan suara (sound system), maupun tata ruang bisa mempengaruhi suasana ibadah. Oleh sebab itu, perhatikan beberapa saran berikut ini.
- Persiapkan segala peralatan sebelum ibadah. Saat ini banyak gereja mengandalkan alat elektronik (microphone, LCD proyektor, alat musik elektronik) dalam ibadah. Ini disebut dengan Hightech Worship. Kelemahan high-tech worship adalah ketergantungannya pada aliran listrik dan alat-alat elektronik. Jika tidak bekerja dengan baik, kebaktian menjadi kacau. Oleh sebab itu, gereja dengan high-tech worship harus benar-benar mempersiapkan peralatannya sebelum ibadah dimulai.
- Ciptakanlah "Suasana Gereja." Ruang ibadah adalah "jendela sorga." Ia adalah sanctuary: tempat berteduh bagi jiwa yang penat. Oleh sebab itu hindarilah kabel-kabel yang berserakan. Tata cahaya, rangkaian bunga, tanaman, lilin, kaca patri berwarna, bendera dengan warna liturgis, suara lonceng, semuanya dapat menciptakan suasana religius yang menolong orang menyadari kehadiran Tuhan. Jika perlu, dekorlah ruang ibadah sesuai dengan tema atau suasana yang ingin diciptakan dalam ibadah.
Sumber Daya Manusia.
Para petugas ibadah (Pengkhotbah, Liturgos, Pemusik, Paduan Suara, dll) sangat mempengaruhi tercipta atau tidaknya ibadah yang hidup.
- Pengkhotbah yang tidak siap bisa mengacaukan ibadah.
- Pemusik yang keliru memainkan tempo atau gaya lagu dapat menghambat jemaat bernyanyi dengan sepenuh hati.
- Liturgos yang mengucapkan kalimat-kalimat klise membuat ibadah tidak mengalir lancar dan jemaat merasa bosan.
- Paduan Suara yang menyanyikan lagu yang tidak sesudai dengan tema ibadah dapat mengacaukan fokus ibadah.
Disini diperlukan kerjasama yang baik antar pelayan ibadah, agar segala unsur yang terlibat dapat berpadu menjadi kesatuan yang sinergis. Hal ini akan kita kupas lebih jauh dalam sesi selanjutnya. Namun, secara garis besar, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
- Setiap pelayan ibadah harus berdedikasi. Syarat utama pelayan ibadah adalah adanya dedikasi. Dedikasi (to dedicate) artinya melakukan sesuatu dengan kerelaan berkorban (baik waktu, tenaga, pikiran dan perasaan) karena yakin bahwa apa yang dilakukan sangat penting. Seorang yang berdedikasi akan datang tepat waktu. Ia tetap bertugas sekalipun ada tawaran acara lain yang lebih menarik. Jika terpaksa tidak bisa datang, ia sudah mempersiapkan pengganti. Tanpa dedikasi, seorang pelayan ibadah dapat menjadi pengganggu ibadah.
- Pelayan Ibadah perlu ikut beribadah. Pemimpin ibadah harus menenggelamkan dirinya sendiri dalam ibadah. Ia tidak boleh bersikap seperti wasit yang hanya mengamati orang bermain bola tanpa ia sendiri ikut terlibat bermain!
Menghidupkan ibadah ternyata tidak sulit. Cukup dengan memakai liturgi yang ada, yang dikelola dengan serius. (bagian - 3)
dikutip dari Seri Pembinaan Iman Kristen, ditulis oleh Pdt. Juswantori Ichwan, M. Th