Sen Sendjaja dalam bukunya Leadership Reformed menyatakan bahwa persoalan terbesar kepemimpinan saat ini tidak datang dari luar diri pemimpin, misalkan: pandemi, peperangan dan lainnya. Memang hal-hal tadi bisa memunculkan persoalan kepemimpinan, tetapi bukan persoalan terbesar. Lalu apa? Persoalan terbesar – diyakini Sendjaja – justru muncul dari dalam diri pemimpin, yakni hati sang pemimpin.
Yesus dalam pengajaran-Nya berkata, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” (Mat. 15:19). Jika seorang murid memiliki hati yang kotor, maka bukan tidak mungkin dalam diri sang murid muncul keinginan-keinginan tertentu yang menjauhkan sang murid dari panggilannya, misalnya: sang murid yang ingin menjadi terbesar, bisa menjegal sesama murid lainnya.
Begitu juga dengan kehidupan seorang pemimpin. Setiap pemimpin perlu mengenali keinginan-keinginan yang muncul dalam hatinya. Keinginan pemimpin untuk mengontrol, menguasai dan dihargai sebenarnya netral secara moral (bnd. 1 Tim. 3:1). Namun keinginan-keinginan itu perlu diperiksa: apakah lahir dari hati yang bersih ataukah yang tercemar? Keinginan-keinginan itu pun perlu diatur agar tidak saling bertentangan. Yesus dalam pencobaan di padang gurun, berani mengalahkan keinginannya akan makanan dan minuman (padahal Yesus sedang lapar-laparnya), demi ketaatan-Nya pada keinginan atau kehendak Allah (lih. Mat. 4:1-11). Marilah sebagai murid Yesus – pemimpin di masa kini, kita berusaha mengenali keinginan kita dengan jalan memastikan hati kita bersih. Jika hati kita bersih, maka keinginan kita pun akan murni. Dengan jalan itu, kita bisa berkontribusi untuk misi Allah yang berdampak.