Saudara-saudari yang terkasih di dalam Kristus, beberapa waktu lalu, sebuah video menyentuh hati banyak orang di media sosial. Seorang pengemudi ojek online menghentikan motornya di tengah hujan lebat. Ia turun, berjalan tergesa-gesa, dan menolong seorang kakek renta yang kesulitan menyeberang jalan. Tidak ada kamera media, tidak ada panggung, tidak ada pamrih. Hanya tubuh yang basah kuyup dan hati yang rela mengasihi. Orang-orang menulis di kolom komentar: “Inilah sesama manusia yang sejati.” Video itu viral bukan karena dramanya, tetapi karena kelangkaan kasih yang tulus dalam kehidupan kita hari-hari ini.
Hari ini kita merenungkan empat bacaan leksionaris yang mengarahkan hati kita kepada satu pesan yang sama: menjadi sesama manusia bukanlah perintah yang sulit atau jauh, melainkan panggilan hidup sehari-hari. Dalam Ulangan 30, Musa mengingatkan bahwa perintah Tuhan bukanlah sesuatu yang berada di langit atau tersembunyi di seberang laut. Firman itu dekat—di dalam mulut dan hati kita (ay.14). Artinya, hidup dalam kasih bukanlah hal yang mustahil. Kita tidak membutuhkan kekuatan luar biasa untuk mengasihi; kita hanya perlu kepekaan untuk hadir bagi sesama dalam momen sederhana namun bermakna.
Mazmur 25 mengajarkan bahwa kasih dan kesetiaan adalah jalan Tuhan. Pemazmur memohon agar Tuhan menunjukkan jalannya—sebuah pengakuan bahwa manusia tidak bisa dengan sendirinya menjadi baik. Kita butuh dibentuk oleh kasih Tuhan agar hidup kita pun bisa memancarkan kasih itu kepada orang lain.
Dalam Kolose 1, Paulus berdoa agar jemaat dipenuhi hikmat dan pengertian supaya mereka hidup berkenan kepada Allah dan berbuah dalam segala pekerjaan yang baik. Perhatikan, buah tidak muncul begitu saja; ia tumbuh dari akar yang dalam. Menjadi sesama yang sejati hanya mungkin jika hidup kita tertanam dalam kasih dan pengenalan akan Kristus.
Akhirnya, dalam Lukas 10:25–37, Yesus membalikkan pertanyaan ahli Taurat. Bukan lagi, “Siapakah sesamaku?” melainkan, “Apakah aku menjadi sesama bagi orang lain?” Dalam perumpamaan itu, sang imam dan orang Lewi lewat begitu saja. Hanya orang Samaria—yang secara budaya dianggap asing—yang berhenti, mendekat, dan merawat luka si korban. Yesus menutup perumpamaan itu dengan berkata: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (ay.37).
Menjadi sesama manusia berarti hadir di tengah dunia yang sibuk dengan wajah yang peduli, tangan yang terulur, dan hati yang bersedia mengasihi. Bukan demi pujian, bukan demi sorotan, tetapi karena Kristus telah lebih dahulu menjadi sesama bagi kita. Saudara-saudari, jangan tunda untuk menjadi sesama. Jangan tunggu kondisi ideal atau momen besar. Kasih itu hadir dalam yang kecil: perhatian, pelukan, senyuman, mendengarkan, dan menemani. Sebab dalam setiap tindakan kasih, sesungguhnya kita sedang menghadirkan wajah Allah yang hidup di tengah dunia. Amin.