Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 10 November 2024
Bacaan Alkitab: Yakobus 1:19-27
Perikop yang kita baca, di bagian awal, menekankan kebijaksanaan dalam mendengarkan dengan sabar dan mengendalikan kemarahan sangat penting dalam konteks kehidupan komunitas Kristen. Dalam kebudayaan Yahudi, mendengarkan sering dikaitkan dengan kebijaksanaan. Orang Yahudi percaya bahwa mendengarkan adalah tanda kerendahan hati, kesediaan untuk belajar, dan ketundukan kepada kehendak Allah. Kemarahan manusia sering kali dianggap tidak produktif dan malah dapat menyebabkan dosa. Oleh karena itu, Yakobus mendorong jemaat untuk menahan amarah dan mengutamakan damai sejahtera.
Dalam konteks historis saat itu banyak anggota jemaat mungkin menghadapi tekanan eksternal yang memicu kemarahan, baik dari penganiayaan maupun diskriminasi sosial. Namun, Yakobus mengingatkan bahwa kemarahan semacam itu tidak membawa pada “kebenaran di hadapan Allah,” yang menekankan pentingnya kedamaian dan kesabaran sebagai buah dari iman yang sejati.
Selanjutnya surat ini membicarakan tentang mendengarkan Firman. Dalam konteks keagamaan Yahudi, mendengar firman bukanlah sekadar mendengarkan, melainkan menyerap dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Frasa “firman yang tertanam” mungkin merujuk pada firman Allah yang telah diterima oleh umat melalui pengajaran dan penyampaian Injil, yang diharapkan tumbuh dan menghasilkan buah. Yakobus menggunakan perumpamaan tentang menjadi pelaku firman untuk menegaskan bahwa iman yang sejati harus terlihat melalui tindakan. Bagi pembaca Yahudi Kristen, ini mengingatkan mereka pada prinsip Taurat yang menuntut ketaatan, bukan hanya pengetahuan.
Gereja Kristen Indonesia (GKI) menghayati bahwa pemberitaan Firman sebagai sarana perjumpaan dengan Allah dan sarana untuk membentuk spiritualitas umat. Pemberitaan Firman bukan hanya sekadar pengetahuan dan perasaan, tetapi merupakan momen sakral yang melibatkan kehadiran Roh Kudus. Pemberita dan pendengar perlu persiapan, pemahaman, dan doa pada setiap pemberitaan agar Firman dapat meresap dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari jemaat.
Di GKI, pemberitaan Firman diatur secara leksionari, yang bertujuan agar jemaat mendapatkan pembelajaran yang konsisten dan komprehensif dari seluruh Alkitab selama siklus tiga tahun. Penggunaan leksionari juga mempromosikan keseragaman dan dialog ekumenis karena jemaat dari berbagai gereja dapat bersama-sama merenungkan bagian Alkitab yang sama. Dengan demikian, ada keselarasan dalam pemilihan bacaan yang membantu jemaat melihat kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Baru serta relevansi Firman dengan tema liturgi tahunan.
Bacaan kita juga menyinggung tentang cermin. Tentu ini cermin yang tidak setajam atau sejelas yang kita kenal sekarang. Karena itu, perumpamaan ini menggambarkan orang yang melihat sekilas gambaran dirinya yang samar, namun segera melupakan seperti apa dirinya. Yakobus menggunakan ilustrasi ini untuk menyoroti betapa sia-sianya “mendengar” firman tanpa melakukannya, seperti seseorang yang melupakan gambaran dirinya. Dalam pengertian teologis, cermin ini melambangkan firman Allah yang mengungkapkan kondisi batin manusia. Mendengar firman tanpa melakukannya berarti mengabaikan pengetahuan yang sudah diberikan Allah, menunjukkan ketidaksetiaan dalam menjalankan kebenaran yang sudah diketahui.
Ayat 26 dan 27 memberikan petunjuk konkret bagaimana Firman Allah selayaknya mewujud. Pada masa itu, janda dan yatim piatu adalah simbol dari orang-orang yang rentan dan membutuhkan perlindungan sosial. Mereka tidak memiliki penghasilan atau perlindungan dan kerap dipinggirkan oleh masyarakat. Perintah untuk merawat mereka menunjukkan bahwa “ibadah yang murni” tidak hanya terletak pada ritual keagamaan, tetapi dalam tindakan kasih terhadap mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Yakobus juga menekankan pentingnya menjaga kemurnian diri dari pencemaran dunia. Ini berarti bahwa orang percaya dipanggil untuk hidup berbeda dari standar moral dunia pada zamannya, yang mungkin mencakup pengaruh hedonisme, ketamakan, atau kompromi moral lainnya.
Pengajaran tentang Pemberitaan Firman Tuhan pada akhirnya adalah ajakan yang kuat untuk menjalani iman yang aktif dan berbuah, bukan hanya dalam ritual atau pengetahuan, tetapi dalam tindakan kasih dan ketaatan yang nyata. Pemberitaan Firman juga merupakan momentum di mana komunitas Kristen, yang hidup di tengah tantangan zaman, diarahkan untuk menjalani hidup yang merefleksikan iman kepada Kristus, dan memastikan bahwa setiap aspek kehidupan mereka menjadi kesaksian yang hidup dari kasih Allah.
Pdt. Pramudya Hidayat