Warta jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 15 Juli 2012

Seorang perwira Amerika yang akhirnya berhasil dibebaskan dari penjara Vietnam, memberi kesaksian tentang apa yang membuatnya dapat bertahan dengan tabah menghadapi siksaan dan penderitaan di dalam penjara Vietnam. Ia melontarkan satu pernyataan yang mengejutkan banyak orang. Ia mengatakan: "Saya bisa bertahan di dalam penjara dengan segala penderitaan justru karena tidak mau berpikir optimis!" Selanjutnya ia berkata: "Mengapa saya tidak mau membangun sikap optimis? Sebab rata-rata teman-teman sepenjara yang membangun sikap optimis, kini sudah gugur, karena depresi dan putus asa. Setiap hari mereka berharap dengan optimis supaya keadaan menjadi lebih baik dan mereka bisa bebas. Namun harapan mereka tidak menjadi kenyataan. Hari demi hari, bahkan tahun demi tahun berlalu, keadaan justru bertambah buruk. Akhirnya mereka kehilangan harapan dan putus asa… Saya bisa bertahan karena membuang sikap optimis dan mulai membangun iman percaya kepada Allah. Iman kepada Allah itulah yang melahirkan kekuatan dan ketabahan sehingga dapat menerima setiap keadaan bahkan yang terburuk sekalipun".

Berpikir positif dan mengembangkan optimisme dalam hidup, sebenarnya adalah suatu hal yang sangat baik. Banyak kesuksesan diraih karena diawali dengan kemampuan membangun optimisme dalam hidup. Namun, kita juga perlu berhati-hati, jangan sampai terbuai dengan optimisme yang berlebihan, apalagi dibangun di atas dasar yang rapuh. Sebab optimisme yang demikian dapat menjadi bumerang yang menghantam secara telak dan mematikan!

"Optimisme yang semu" itulah yang dibangun oleh nabi-nabi palsu Israel utara. Dengan memakai ukuran keadaan politik dan ekonomi Israel utara sangat baik dan makmur, di bawah kekuasaan raja Yerobeam II. Kerajaan Israel utara berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Syiria, seiring melemahnya kerajaan Asyur. Kemenangan, keberhasilan, kemakmuran, keamanan dan ketenangan yang terjadi di kerajaan Israel Utara itulah yang membangkitkan rasa optimisme akan masa depan yang langgeng. Itulah yang disuarakan oleh nabi-nabi palsu. Mereka berusaha membangun optimisme yang semu. Walaupun kondisi spiritual dan sosial umat sebenarnya sangat bobrok pada saat itu. Kejahatan dan kemunafikan berkembang dengan subur di semua lini kehidupan. Mulai dari pemerintah, bangsawan, pemimpin agama dan masyarakat. Penyembahan berhala, korupsi, kolusi dan penindasan terjadi dimana-mana. Yang menjadi korban adalah rakyat kecil, para petani dan orang-orang miskin.

Dalam kondisi seperti itulah Nabi Amos tampil menyuarakan hal yang berbeda. Kemenangan, kemakmuran dan keberhasilan bukanlah jaminan dan ukuran untuk membangun sikap yang optimis akan masa depan. Jika mengabaikan panggilan untuk menghormati Tuhan satu-satunya Allah yang benar dan menciderai kasih terhadap sesama. Amos 7:7-9, adalah penglihatan Amos tentang "tali sipat" (ay 7). Tali sipat adalah alat yang dipakai oleh tukang bangunan untuk mengukur dan melihat apakah tembok yang dibangun sudah tegak lurus? Jika didapati temboknya miring, maka tentu saja harus diruntuhkan atau dibongkar. Allah sendiri akan mengukur kehidupan umat Israel. Apakah tegak lurus sesuai dengan kebenaran? Ataukah miring? Jika kedapatan miring, maka akan diruntuhkan. Dan tidak tanggung-tanggung semua eksistensi Israel akan dihancur leburkan, baik kerajaan maupun peribadatan.

Sebab itu membangun optimisme masa depan yang benar bukanlah dengan ukuran kekayaan dan semua keberhasilan dan kelimpahan yang kita miliki saat ini. Sebab semua "kehebatan" yang membuat kita eksis dapat hilang sekejap mata. Sebaliknya marilah kita membangun optimisme akan hidup dan masa depan yang indah dengan membangun iman dan ketaatan kepada Allah serta kasih dan keadilan terhadap sesama…… Amin - RR -