Dalam dunia yang didominasi oleh nilai-nilai Barat modern, yang menekankan meritokrasi dan pencapaian individu, kelayakan seringkali disamakan dengan prestasi dan kesuksesan yang terukur. Kelayakan seseorang senantiasa dilihat dari sudut pandang kekayaan, karir yang sukses, gelar pendidikan, pengakuan publik, jumlah pengikut di media sosial, dan produktivitasnya.
Dalam perspektif Barat modern, pertanyaan “Apakah Aku Layak?” akan dijawab: “Kamu layak jika kamu berhasil, produktif, dan mandiri.” Perspektif ini bagaikan pedang bermata dua, yaitu: bisa memotivasi, tetapi juga bisa menghancurkan jiwa ketika seseorang gagal memenuhi standar yang seringkali tidak realistis. Pribadi yang tidak “berhasil” akan dikungkung oleh perasaan gagal, kecemasan, depresi, dan rasa malu. Dalam masyarakat seperti ini, orang yang tidak “sukses” secara materi seringkali distigma sebagai pemalas atau tidak mampu.
Umat Tuhan seharusnya mencari jawab atas pertanyaan “Apakah Aku Layak?” bukan dari standar nilai dunia, melainkan dari sudut pandang kebenaran firman Tuhan. Bukan nilai-nilai dunia yang menjadi tolok ukur kelayakan kita, tetapi pengajaran Alkitab.
Dalam terang firman Tuhan kita mendapatkan jawaban atas pertanyaan “Apakah Aku Layak?” dari dua perspektif, yaitu hukum Allah yang menghakimi dan anugerah Allah yang mengampuni. Di hadapan hukum Allah, jawabannya adalah “TIDAK!” Sebab kita semua adalah orang berdosa dan tidak layak di hadapan-Nya. Di dalam Anugerah Allah, jawabannya adalah “YA!” Kelayakan kita bukan milik kita. Itu adalah kelayakan Kristus yang dikenakan pada kita.
Dalam khotbah pada hari ini, yang temanya “Apakah Aku Layak?”, pengkhotbah akan mengajak umat untuk mempelajari kedua perspektif tersebut dalam terang firman Tuhan dari Lukas 19:1-10; Yesaya 1:10-18; Mazmur 32:1-7; 2 Tesalonika 1:1-4, 11-12. Selain itu, berdasarkan firman-Nya, pengkhotbah juga mengajak umat mempelajari hal yang ketiga, yaitu: hidup dalam kelayakan yang dianugerahkan Allah. Dengan demikian umat tidak menjadi pasif, melainkan memiliki iman yang berkarya berdasarkan anugerah-Nya.
Di hadapan Allah, pertanyan terpenting bukan lagi “Apakah Aku Layak?” melainkan “Apakah aku sudah dilayakkan-Nya?” Kelayakan bukan syarat bagi kita untuk dipanggil Allah, melainkan hasil dari panggilan-Nya di dalam Kristus. Perhatikan doa Paulus untuk umat Allah di Tesalonika: “Karena itu kami senantiasa berdoa juga untuk kamu, supaya Allah kita menganggap kamu layak bagi panggilan-Nya...” (2Tes. 1:11a). Kelayakan di sini bukanlah syarat untuk dipanggil, tetapi hasil dari panggilan itu sendiri. Allah yang memanggil kita yang tidak layak, lalu Dia sendiri yang mengerjakan di dalam kita sehingga kita dapat hidup layak sesuai dengan panggilan itu. Hidup yang berubah, kasih berbuah, dan iman yang berkarya, semuanya adalah pekerjaan Allah di dalam kita (2 Tes. 1:11b). Apa tujuannya? Tujuannya adalah supaya “nama Yesus, Tuhan kita, dimuliakan di dalam kamu dan kamu di dalam Dia, menurut anugerah Allah dan Tuhan Yesus Kristus” (2 Tes. 1:12).